Choir Gbi Bandung

Rabu, 11 Juli 2012

Satu Pelajaran Berharga

merenung
Model
Saya pulang bekerja, duduk di kursi terdekat, dan membuka lembaran koran yang sudah saya bawa dari depan rumah. Sebuah berita bisnis menarik perhatian saya karena ada seorang wanita lokal yang berhasil mendapatkan hadiah dari bank, dengan fotonya terpampang jelas. Dia adalah teman kelas saya di SMP, saya ingat. Dia telah menjadi ‘seseorang’, mengapa saya belum? pikir saya dalam hati. Saya mengalami hari yang panjang dalam karir sebagai perawat, saya pulang dengan rasa penat luar biasa dan tidak bersemangat. Kehidupan keuangan masih tidak lancar dan mengingat tentang masa SMP tidak membantu saya sama sekali. Saya hanyalah gadis aneh dengan pakaian yang konyol. Bahkan saya menggunakan kacamata yang tebal dan besar dengan frame yang jelek. Saya sudah membuang buku tahunan sekolah saya yang memuat foto saya dulu dan tidak pernah melihatnya lagi. Semua anak gadis pada masa SMP saya yang terkenal sepertinya menggunakan jeans yang didesain khusus, begitu juga anak laki-laki. Mereka kelihatan begitu sempurna dalam berpakaian, tapi bukan saya.
Saya seringkali harus memakai pakaian ibu saya yang ingin dijual, seperti celana yang sangat ketinggalan jaman. Tapi saya ingat ada satu masa dimana pelajaran menjahit ibu guru Barrett, bagaimana saya duduk di depan mesin jahit untuk pertama kalinya. Proyek pertama kami adalah membuat celemek yang sederhana. Gadis-gadis lain memilih bahan denim, saya memilih katun berwarna kuning. Ibu Barret menghampiri meja saya dan berkata, “Betapa warna yang meriah,” katanya. “Caramu menjahit begitu lurus, Roberta.” tambahnya. Bunyi mesin jahit di sekitar saya perlahan menyurut. Hanya ada sisa-sisa bunyi dan ada banyak cengiran mengejek di sekeliling saya. Rasanya saya mati kutu. Namun, ibu Barrett tidak pernah menertawakan siapapun. Dia selalu dapat mengatakan hal positif dari suatu hal. Jika di kelas lain saya sering berkhayal melalui tulisan di buku harian saya, hal itu tak pernah terjadi di kelas ibu Barrett. Dia membuat saya merasa saya tidak berbeda dengan orang lain. Dan semakin dia memberikan saya semangat, saya merasa talenta saya semakin keluar. Tiga puluh tahun kemudian saya masih mempercayai dan mempraktekkan dalam hidup saya tentang apa yang saya pelajari di kelasnya. Betapapun kerasnya kehidupan yang saya jalani, saya dapat bangkit lagi. Saya menemukan bahwa saya bisa menjahit, mendekor, dan juga memasak. Bahkan, karir kedua saya merupakan konsultan dekorasi, berkat ibu Barrett. Menyadari hal itu, saya mengesampingkan koran yang saya baca. Pikiran itu menghampiri saya, mengapa saya tidak memberitahu kepada ibu Barrett tentang jasanya? Saya pun mulai mencari di dalam buku telepon, saya menulis sebuah surat. “Mungkin Anda tidak ingat lagi pada saya, saya hanya ingin memberitahu Anda betapa Anda telah menyemangatkan saya dahulu kala,” tulisnya. Jika saja ada orang yang dapat menyemangati saya seperti itu sekarang, pikir saya dalam hati. Hidup saya tidak ada apa-apanya, tidak ada promosi besar-besaran, rumah saya di pinggiran kota, tidak ada yang berubah, saya masih jauh di belakang. Tiga hari kemudian, telepon datang dari ibu Barrett di tempat kerjaku. Dia meminta saya untuk datang ke rumahnya. Malam berikutnya, saya berdiri di depan rumahnya gugup seperti anak sekolah. Ibu Barrett membukakan pintu. Setelah berbincang sejenak, dia naik ke lantai dua dan membawa buku sekolah tahunan saya. Di dalam hati saya berteriak, “Jangan, Tuhan, tolong. Jangan foto saya yang itu!” “Kau selalu begitu pandai…” dan di sana ibu Barret menceritakan bahwa dia begitu terkesan dengan saya, dia ceritakan dengan sungguh-sungguh. Saat dia bertanya tentang kehidupan saya, saya pun memberanikan diri mengungkapkan segala perasaan saya. Saya ceritakan apa saja, kehidupan saya dan rasa depresi saya. Kemudian, ibu Barrett berkata pada saya, “Pakaian yang engkau jahit sangat berbeda, rumahmu berbeda, kehidupan yang kau jalani juga berbeda,” katanya. “Anak muda mencoba bergabung satu sama lain, agar kelihatan serasi / sama. Orang dewasa pun begitu. Tapi Tuhan sudah membuat kita ini unik. Dia memberikan setiap kita karakter yang berbeda karena kita ini spesial. Karena itu, Roberta, engkau seseorang yang asli. Tuhan mencintaimu seperti apa adanya kamu.” Mendapatkan cara pandang yang berbeda, saya mencoba melihat kembali foto saya tersebut. Memang seperti yang ibu Barrett katakan, saya memang berbeda. Tapi saya juga melihat foto itu sebagai sosok yang menarik. Saya melihat seperti itu sekarang. Bagaimana kita memandang diri kita sendiri, bisa jadi berbeda cara pandang orang lain terhadap kita. Semuanya itu melalui proses kehidupan. Kesulitan dan masalah ada bukan untuk melemahkan kita, namun untuk memberikan kita batu loncatan. Kita dapat melangkah lebih berani ke depannya. Belajar dari kegagalan, masa lalu yang kelam, kehidupan yang berat, akan membuat kita jadi tangguh di dalam Tuhan. Sumber : guideposts

0 comments:

Posting Komentar